Konsep Ekonomi Islam | Mencari kemajuan di bidang ekonomik tidaklah bertentangan dengan pandangan islam. Berbagai jalan dapat ditempuh, salah satunya dengan konsep-konsep keberhasilan yang terkait dengan nilai-nilai moral. |
Konsep keberhasilan dalam Islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai moral. M.N. Siddiqi mengatakan:
Keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin berhasil ...Selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu Muslim berusaha berbuat selaras dengan nilai-nilai moral.
Kebaikan, dalam peristilahan Islam, berarti sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Hal paling buruk yang bisa dilakukan orang adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat atau melaksanakan negativisme terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus yang ditampilkan secara tidak benar baik oleh tradisi-tradisi Sufi yang ada dalam masyarakat Muslim selama enam abad yang lampau maupun oleh orang-orang bukan Muslim dari kalangan Kristen yang melihat Islam melalui lensa prakonsepsi-prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya. Dr. Siddiqi sudah mengembangkan konsep ini lebih jauh, dengan mengatakan:
Manusia dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung; berusaha memenuhinya adalah wajar. Semakin baik kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi semakin baik pulalah dia. Kehidupan yang dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa amman. Dan kondisi jiwa semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang sehat, bermoral dan bercorak spiritual. Tidak satu kemajuan material dan pembangunan ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan kemajuan moral dan spiritual. Betapa pun juga semua kemajuan semacam itu, bila diperoleh dengan cara yang baik dan dipertahankan, merupakan sumbangan terhadap moralitas yang sehat dan spiritualitas yang benar.
Karena itu Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk meraih kemajuan material. Ia menganggap standar tertentu pemilikan materi sebagai kondisi yang tidak dapat ditawar-tawar bagi perkembangan pola sosial yang diinginkan, ia mendorong setiap individu untuk melakukan semua upaya untuk memperolehnya, ia menyuruh masyarakat untuk menjamin pemilikan tersebut bagi setiap individu dalam segala suasana. Namun terdapat beberapa pembatasan terhadap segala sesuatunya. Dan kehidupan memiliki aspek-aspek lain di luar aspek ekonomi yang menuntut pengabdian dan memerlukan energi serta waktu untuk mengembangkannya secara baik. Kehidupan yang seimbang memerlukan alokasi usaha-usaha dan sumber-sumber manusia secara baik diantara semua aspek kehidupan yang penting itu. Pengabdian secara eksklusif kepada pembangunan ekonomi bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia itu.
Moralitas dan spiritualitas tidak menuntut pengusaha untuk mengabaikan ambisi-ambisinya dan berhenti untuk mendapatkan sesuatu yang sederhana; tetapi sebaliknya ia justru menekankan dan mendorong ambisi-ambisinya itu dengan mengajaknya untuk mendirikan perusahaan, disamping memenuhi ambisi-ambisinya sendiri secara baik dalam kaitannya dengan kehidupan dan kenikmatan-kenikmatannya, sebagai sarana untuk melayani umat manusia. Jadi pernyataan bahwa kebaikan dan kesalehanlah yang seharusnya menjadi pusat perhatian kita bahkan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi kita pun ia tidak dapat diartikan sebagai asketisisme atau penafian terhadap tujuan-tujuan ekonomik. Jalan menuju spiritualisme.
Islam menerobos langsung melalui berbagai suasana hiruk-pikuk kehidupan praktis. Tidak ada sesuatu pun yang memisahkan dan memotong jalan kehidupan itu. Ia adalah satu-satunya "jalan" kehidupan yang khusus. Dan bila kita mengatakan bahwa kebaikan dan kesalehan seharusnya menjadi tujuan kita berarti kita menyatakan bahwa ini adalah jalan kehidupan yang khusus itu.
Comments :
Posting Komentar